panglima banyakwide

CERITA

Ini adalah kakek buyut dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo (1894-1978). Beliau pengikut setia Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Perang yang membuat kolonialisme Hindia Belanda dan antek-anteknya jatuh miskin. Perang yang menandakan perlawanan antara kekuatan Islam dan kuffar (dan munafikun). Perang sufi yang berlangsung besar-besaran, dengan thariqah Syatariyyah sebagai yang terdepan. Itulah perang yang menjadi wasilah kemerdekaan bagi negara Belgia, merdeka dari Kerajaan Belanda.

Dalam perang itu, Panglima Banyakwide, diliteasikan bergabung dengan Pasukan Diponegoro, trah Kesultanan Mataram yang memilih angkat senjata melawan kolonialisme.

Pangeran Banyakwide adalah kaum priyayi, bangsawan Jawa. Kemudian menjadi Bupati Roma (sekarang Karanganyar, Kebumen) dengan gelar Raden Tumenggung Kertanegara IV. ‘Kertanegara’ inilah yang menjadi ‘istana’ kediaman dari cucu buyutnya, Prabowo Subianto.

Cucu dari Pangeran Banyakwide adalah Raden Mas Margono Djojohadikusumo. Pendiri dan pencetus bank sentral Indonesia, Bank Nasional Indonesia (BNI). Bank sentral ini dipergunakan untuk melawan ‘bank central’ ala Hindia Belanda: The Javasche Bank. Tapi selepas Konfrensi Meja Bundar (KMB), kedudukan BNI kalah dengan ‘The Javasche Bank’ yang wajib dijadikan bank sentral untuk Republik Indonesia kedepan.

Raden Mas Margono Djojohadikusumo adalah ayah dari Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, seorang ekonom awal Republik Indonesia, yang tetap memperjuangkan agar ‘bank sentral’ haruslah BNI 46, bukan ‘Tje Javasche Bank’ milik orang-orang Belanda dulu.

Prabowo Subianto, Presiden Indonesia ke-8 adalah anak dari Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, yang merupakan cicit buyut dari Pangeran Banyakwide.

Di ‘Istana Kertanegara’, lukisan Pangeran Dipongoro dalam Perang Jawa terpanpang gagah di ruang tamu. Dalam sesi menerima Perdana Menteri Malaysia, Yang Mulia Anwar Ibrahim, tampak lukisan Pangeran Diponegoro menyapa gagah setiap tetamu yang datang menjumpai Presiden Prabowo.

Semoga semangat Perang Jawa, perlawanan terhadap kolonialisme menjadi warna bagi kebijakan dan arah Republik Indonesia kedepan. Karena dulu wajah itu bernama kolonilisme. Kini disebut kapitalisme.

Sumber foto: FB Anwar Ibrahim