Materialisme, ini kosakata serapan. Bukan asli nusantara. Defenisinya belum ada yang menjelaskan dengan jelas. Terkadang disebut juga modernisme. Tapi materialisme, inilah realitas kehidupan era kini. Dimana segala sistem dan ajaran yang berkembang, kerap berasal dari materialisme.
Bidang kekuasaan, terpapar ajaran ‘materialisme’ yang melahirkan ‘politique.’ Bidang perdagangan, terpengaruh ‘materialisme,’ memunculkan kapitalisme. Wilayah hukum, pengaruh ‘materialisme’ menghasilkan ‘positivisme.’ Kesemuanya tentu berinduk semang pada sekulerisme.
Ini paham yang berasal sejak era renaissance di Eropa. Dari sanalah sanad paham ini muncul, yang kemudian menyebar seantero dunia. Kosakata lainnya, menyebut inilah ‘sistem dajjal.’
Banyak kegagapan dalam memahami materialisme. Terlebih di kalangan akademisi. Karena istilah ini tak terdefenisi. Kaum agamawan, lebih kebingungan lagi. Tanpa memahami fakta realitasnya, karena istilah ini tak dipahami, makanya ujungnya sulit untuk menghukumi.
Tapi dalam post modernitas, materialisme inilah yang melahirkan nihilisme. Nietszche mengulasnya. Martin Heidegger menyebutnya sebagai ‘kebenaran essensialis,’ yang artinya bukan Kebenaran. Karena materialisme mencerabut ‘Kebenaran’ dari akarnya.
Paham ini muncul dari pemujaan atas ‘free will.’ Manusia seolah memiliki ‘kehendak bebas.’ Dengan free will, memunculkan kreasi mulai ‘cogito ergo sum’ versi Descartes sampai ’empirisme’ ala Kant. Ini yang memperngaruhi peradaban modern. Tapi ajaran itu, sekali lagi, hanya memunculkan nihilisme. Yang maknanya menjauhkan manusia dari fitrahnya.
Nihilisme itulah psikosis. Penyakit kejiwaan yang melanda penganutnya. Kapitalisme tentu membuat manusia berada pada ‘tidak bisa berdiri tegak alias kesurupan.’ Karena manusia terjebak dengan doktrin ‘modal sekecilnya, untung sebesarnya,’ yang berasal pada keserakahan syahwati. Karena materialisme tentu bersandar pada syahwati semata.
Belantara Islam, tentu tak lepas dari terpapar dari virus materalisme. Makanya kemudian mewujud bentuk ‘Islam’ yang hanya mematok unsur ‘materialis’ semata. Tanpa adanya Hadist, maka tidak dianggap sebagai sumber Syariat. Jadi berpola pada inderawi semata. Tak heran, pengaruh paham ini melahirkan kaum wahabbi dan modernis Islam, yang tak meyakini bacaan Al Quran tak sampai pada sang mayyit. Penerapan Islam yang bersumber pada materialis semata, menjadi rujukan. Makanya terjadi kepincangan penerapan Islam, syariat minus hakekat. Sementara sejatinya syariat walhakekat semestinya menyatu.
Buku ini sekelumit mengulas panjang perihal pengaruh ‘materialisme’ dalam peradaban sekarang. Jangan harap ini ditulis mengacu pada tataran akademis, yang memang bagian dari materialisme itu sendiri. Tapi–Insha Allah– membaca kitab ini akan membawa mindset pemahaman dalam memahami kesesatan materialisme. Dan ujungnya harus kembali pada Islam. Islam yang Sahihan tentunya.
Tassawuf memiliki jawaban atas kebuntuan materialisme. Simak ulasannya dalam kitab sederhana ini.
